JURIA HOUSE, UBUD

Berjalan kaki menyusuri lorong-lorong perkampungan di sekitar pasar dan Puri Ubud sungguh merupakan kegiatan yang mengisi kebutuhan jiwa. Pemandangan perkampungan biasa di Pulau Bali yang diisi rumah rumah penduduk, berseling dengan balai banjar dan pura desa. Sesekali kami menemukan homestay terselip diantara warung tradisional dan restoran makanan sehat, vegan dan vegetarian dengan bahan organik yang sudah menjadi ciri khas destinasi kuliner Ubud. Tak lama berjalan menyusuri Jalan Jembawan melewati Kantor Pos Ubud, sampailah di persimpangan Jalan Sugriwa yang agak lebih lebar. Terlihat di sebuah warung sederhana beberapa penduduk lokal berkerumun antri untuk membeli sarapan pagi. Penasaran kami pun mendekati untuk mengetahui apa menu sarapannya, namun sayang ternyata kami tidak dapat menikmatinya karena warung tersebut ternyata menjual babi guling.

KEDAI KOPI MINIMALIS

Tidak jauh dari situ kami melihat sebuah kedai kopi yang sangat minimalis, di depannya terpampang papan bertuliskan “JURIA HOUSE”. dengan ukuran ruangan memanjang berukuran sekitar 8×3 meter yang diisi deretan kursi santai yang disusun sejajar menghadap jalan, terasa suasana yang hangat dan santai layaknya di rumah. Segera kami disambut ramah oleh Dicky, sang barista yang ternyata jauh merantau dari kota Bandung. “Kami tidak menyediakan milk base kopi“, jelasnya ramah sebagai pembuka. Memang ternyata Juria Coffee hanya menyediakan black coffee yang diseduh manual. Di meja bar sederhana namun rapih, terlihat hanya perangkat Dripper dan Flair Espresso manual. Berikutnya dia menawarkan beberapa beans yang tersedia. “Ini Malabar yang cupping score nya 90+“, jelasnya sambil mengangsurkan botol kaca berisi biji kopi malabar dari Jawa Barat. Wangi floral serta merta meruap saat tutup botol dibuka. Namun pandangan seketika juga tertuju pada satu botol bertuliskan “JURIA”. Saya pun berucap, bagaimana kalau Juria saja, diseduh dengan V60. Ya, Juria adalah kopi yang tergolong langka yang tumbuh di Flores. JURIA adalah turunan varietas Typica yang dibawa dari Sulawesi sekitaran tahin 1950. Pohon pertamanya masih tumbuh setinggi 5 meter di Desa Colol, Manggarai Timur. Kabarnya sebagai varietas kopi tertua dari Typica, pohon varietas Juria tidak sebanyak varietas lain yang tumbuh di Flores. Ditambah hanya panen sekali dalam dua tahun, tentu bisa menemukan biji kopi Juria adalah semacam keberuntungan.

MILIK WARGA NEGARA JEPANG

Sambil mulai menimbang dan merebus air, kami berbincang. Dicky bercerita bahwa kedai kopi JURIA adalah milik mendiang RYUICHI HIRAKAWA, seorang warga negara Jepang yang sangat cinta kopi dan Indonesia. Sayangnya beliau sudah meninggal ketika tenggelam saat berenang di salah satu pantai selatan Jawa sekitar enam bulan yang lalu, dalam usia 74 Tahun! Dan adalah permintaan dari keluarga di Jepang agar Juria House peninggalan beliau dirawat dan diteruskan oleh Dicky.

TASTING NOTES

Tak lama kopi kami pun sudah siap dihidangkan bersama segelas air putih dingin. Kopi Juria yang disajikan memiliki body medium, dengan citarasa yang sangat seimbang dan minim acidity khas seduhan gaya Jepang. Perpaduan tasting notes coklat, sedikit tembakau dan melon mengalir lembut. Sambil menikmati kopi Juria, kami duduk santai sembari melihat dan bertegur sapa dengan penduduk dan turis asing yang lalu lalang dan beberapa juga mampir ikut menikmati kopi asli Indonesia pilihan mereka.

KEHANGATAN DALAM KEBERSAHAJAAN

Jika kalian sudah bosan dengan toko kopi mewah yang berjamur di kota-kota besar dan kecil di Indonesia dan (seperti saya) merindukan kebersahajaan atmosfer kehangatan sebuah kedai kopi tempat bertegur sapa dan berinteraksi dengan masyarakat namun tetap menyeduhkan kopi berkualitas, Juria House bisa jadi tujuan kalian saat berlibur ke Bali.

Juria is the old variety of Typica !

Juria House, Jl. Sugriwa No. 3 Ubud, Bali.

Buka dari pukul 7.00 hingga Pukul 18.00 WITA.

https://www.google.com/maps/place/JURIA+HOUSE/@-8.509184,115.2636134,17z/data=!3m1!4b1!4m5!3m4!1s0x2dd23d6c2d032a81:0xa164769d38eb4da1!8m2!3d-8.509184!4d115.2658021

Cerita Pak Pos dan Gerobucks Kopi Labuan Bajo

Gerobucks Kopi, Kantor Pos Komodo Labuan Bajo

Mengunjungi Tanah Flores, memang benar bak mengunjungi tanah air kopi. Sepanjang perjalanan dari Kota Ruteng Ibukota Kabupaten Manggarai yang sejuk di dataran tinggi menuju kota  pelabuhan Labuan Bajo, terhampar di sepanjang jalan tanaman kopi yang sedang berbunga, bagaikan mahkota mahkota putih di antara rimbunnya hijau dedaunan kopi. Tiba di hiruk pikuknya Kota Labuan Bajo yang meski berdebu sedang menggeliat, sesaat mata saya tertuju pada halaman Kantor Pos Indonesia Labuan Bajo yang cukup luas dan terang di Jalan Sukarno Hatta. Sebuah gerobak kayu dikerumuni oleh para penikmat kopi baik orang lokal maupun wisatawan asing.

Segera setelah meletakkan barang-barang di penginapan tak jauh dari situ, segera saya melangkahkan kaki menuju Kantor Pos Labuan Bajo. Beruntung bagi saya, masih terdapat sebuah bangku kosong di depan meja “bar” meja favorit saya untuk bisa mengamati ritual para barista menyeduh kopi sekaligus bisa untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan mereka. Di sebelah saya sebelumnya telah duduk sepasang wisatawan muda asal Kuala Lumpur Malaysia yang memesan espresso yang diseduh dengan rockpresso, “wow really a hand-crafted coffee” demikian komentar mereka yang segera saya timpali “every cup of coffee actually is handicraft” yang rupanya disangkal oleh mereka dengan “except s#b#cks” yang segera saya iyakan. Betapa sebuah kehangatan gerobak kopi membuat orang cepat akrab disana. Di depan saya terpasang dengan rapih beberapa perlengkapan menyeduh; grinder elektrik latina, rockpresso, beberapa decanter dan dripper V60 serta beberapa toples Suji berisikan beans Arabika Wae Rebo, Robusta Wae Rebo, Arabika Flores Bajawa Honey Process dan Aceh Gayo Wine.

Saya memilih beans Arabika Wae Rebo Flores yang saya minta dibuatkan Eskopang – Japanese Iced Coffee dengan metode V60 oleh Mas Wawan, pemilik sekaligus nampaknya Head Barista Gerobucks Kopi. Sabar ya mas, sapanya dengan ramah karena nampak antrean pesanan orang-orang yang tiba sebelum saya. Santai aja mas, yang penting nyeduhnya jangan buru-buru ya biar enak nanti kopi nya, jawab saya. Iya, bagi saya menikmati kopi di slow bar seperti ini tidak sekedar menghirup kopi nya saja, namun juga menikmati segala ritual dan suasana atmosfer yang terbangun di satu coffee shop.

Tak terasa, eskopang pesanan saya pun siap. Silahkan mas, nanti tolong dikomen bagaimana rasanya. Segelas Jappanesse Ice Coffee dengan rasa unik kopi organik Arabika Wae Rebo pun tersaji penuh kompleksitas rasa dan aroma di depan saya, tak kalah dengan seduhan toko kopi toko kopi spesialty terkini ibukota. 

 Mas Wawan, Head Barista, Pemilik Gerobucks Kopi 

Sambil menyeduh kami mulai bertukar cerita. Mas Wawan rupanya benar pemilik sekaligus head barista di sana. Berasal dari Pulau Lombok, rupanya beliau sudah bertahun-tahun menjelajahi Flores dan Nusa Tenggara Timur sebagai Pegawai PT Pos Indonesia. Bahkan sebelum bertugas di Labuan Bajo, Mas Wawan pernah ditugaskan di Atambua, kota perbatasan Republik Indonesia dengan Timor Leste. Perjalanannya sebagai Karyawan PT Pos Indonesia terakhir membawanya bertugas di Labuan Bajo dua tahun terakhir ini. Mulanya mempelajari kopi secara otodidak dari berbagai sumber online dan mempraktekannya baik untuk diri sendiri maupun kawan sejawatnya di kantor. Biaya hidup yang makin tinggi di kota tujuan wisata seperti Labuan Bajo membawanya mencurahkan kesulitan ke pimpinannya. Beruntung sang pimpinan adalah seorang pecinta kopi juga dan sekaligus mensupport hingga kelahiran Gerobucks Kopi di halaman kantor PT Pos Indonesia Labuan Bajo kurang dari dua Bulan yang lalu (sekitar Juli 2018). 

Demikianlah cerita Gerobucks Kopi dan Mas Wawan, dari kehangatan secangkir kopi yang siap menginspirasi siapapun pecintanya.

Gerobucks Kopi Labuan Bajo

Jl. Sukarno Hatta Labuan Bajo

Halaman Kantor Pos Labuan Bajo

Flores-Indonesia